BAB I
PENDAHULUAN
Akuntabilitas berasal dari bahasa Inggris,
yaitu accountability yang artinya keadaan untuk dipertanggungjawabkan, keadaan
dapat dimintai pertanggungan jawaban.
Menurut The Oxford Advance Learner’s
Dictionary, akuntabilitas adalah required or expected to give an explanation
for one’s action. Dengan kata lain, dalam akuntabilitas terkandung kewajiban
untuk menyajikan dan melaporkan segala tindak tanduk dan kegiatannya terutama
di bidang administrasi keuangan kepada pihak yang lebih tinggi/atasannya.
Menurut J.B. Ghartey, akuntabilitas ditujukan
untuk mencari jawaban terhadap pertanyaan yang berhubungan dengan pelayanan
apa, siapa, kepada siapa, milik siapa, yang mana, dan bagaimana.
Ledvina V. Carino, mengatakan akuntabilitas merupakan suatu evoluasi kegiatan yang dilaksanakan oleh seorang petugas baik masih berada pada jalur otoritasnya atau sudah berada jauh di luar tanggungjawab dan kewenangannya. Dengan demikian, dalam setiap tingkah lakunya seorang pejabat pemerintah mutlak harus selalu memperhatikan lingkungan.. Ada 4 (empat) dimensi yang membedakan akuntabilitas dengan yang lain, yaitu siapa yang harus melaksanakan akuntabilitas; kepada siapa dia berakuntabilitas; apa standar yang digunakan untuk penilaian akuntabilitasnya; dan nilai akuntabilitas itu sendiri.
Deklarasi Tokyo mengenai petunjuk akuntabilitas public (tahun 1985) menetapkan definisi bahwa akuntabilitas merupakan kewajiban-kewajiban dari individu-individu atau penguasa yang dipercayakan untuk mengelola sumber-sumber daya publik dan yang bersangkutan dengannya untuk dapat menjawab hal-hal yang menyangkut pertanggung-jawaban fiscal, manajerial, dan program.
Ledvina V. Carino, mengatakan akuntabilitas merupakan suatu evoluasi kegiatan yang dilaksanakan oleh seorang petugas baik masih berada pada jalur otoritasnya atau sudah berada jauh di luar tanggungjawab dan kewenangannya. Dengan demikian, dalam setiap tingkah lakunya seorang pejabat pemerintah mutlak harus selalu memperhatikan lingkungan.. Ada 4 (empat) dimensi yang membedakan akuntabilitas dengan yang lain, yaitu siapa yang harus melaksanakan akuntabilitas; kepada siapa dia berakuntabilitas; apa standar yang digunakan untuk penilaian akuntabilitasnya; dan nilai akuntabilitas itu sendiri.
Deklarasi Tokyo mengenai petunjuk akuntabilitas public (tahun 1985) menetapkan definisi bahwa akuntabilitas merupakan kewajiban-kewajiban dari individu-individu atau penguasa yang dipercayakan untuk mengelola sumber-sumber daya publik dan yang bersangkutan dengannya untuk dapat menjawab hal-hal yang menyangkut pertanggung-jawaban fiscal, manajerial, dan program.
Pasal 7
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan “Asas
Akuntabilitas” adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil
akhir dari kegiatan Penyelenggara Negara harus dapat dipertanggungjawabkan
kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Oleh sebab
itu seseorang yang mendapatkan amanat harus mempertanggungjawabkannya kepada
orang-orang yang memberinya kepercayaan.
Lebih jauh, LAN RI dan BPKP
(2001: 29) menjelaskan pembagian akuntabilitas sebagai berikut:
a. Akuntabilitas keuangan
Akuntabilitas keuangan merupakan pertanggung jawaban mengenai integritas keuangan, pengangkatan dan ketaatan terhadap peraturan perundangan. Sasaran pertanggung jawaban ini adalah laporan keuangan yang disajikan dan peraturan perundangan yang berlaku yang mencakup penerimaan, penyimpanan, dan pengeluaran uang oleh instansi pemerintah.
b. Akuntabilitas manfaat
Akuntabilitas manfaat (efektivitas) pada dasarnya memberi perhatian kepada hasil dari kegiatan-kegiatan pemerintahan. Dalam hal ini, seluruh aparat pemerintahan dipandang berkemampuan menjawab pencapaian tujuan (dengan memperhatikan biaya dan manfaatnya) dan tidak hanya sekedar kepatuhan terhadap kebutuhan hirarki atau prosedur. Efektivitas yang harus dicapai bukan hanya berupa output akan tetapi yang lebih penting adalah efektivitas dari sudut pandang output akan tetapi yang lebih penting adalah efektivitas dari sudut pandang outcome. Akuntabilitas manfaat hampir sama dengan akuntabilitas progam.
c. Akuntabilitas Prosedural
Akuntabilitas prosedural merupakan pertanggung jawaban mengenai apakah suatu prosedur penetapan dan pelaksanaan suatu kebijakan telah mempertimbangkan masalah moralitas, etika, kepastian hukum, dan ketaatan pada keputusan politis untuk mendukung pencapaian tujuan akhir yang telah dietapkan. Pengertian akuntabilitas prosedural ini adalah sebagaimana dengan akuntabilitas proses.
Akuntabilitas keuangan merupakan pertanggung jawaban mengenai integritas keuangan, pengangkatan dan ketaatan terhadap peraturan perundangan. Sasaran pertanggung jawaban ini adalah laporan keuangan yang disajikan dan peraturan perundangan yang berlaku yang mencakup penerimaan, penyimpanan, dan pengeluaran uang oleh instansi pemerintah.
b. Akuntabilitas manfaat
Akuntabilitas manfaat (efektivitas) pada dasarnya memberi perhatian kepada hasil dari kegiatan-kegiatan pemerintahan. Dalam hal ini, seluruh aparat pemerintahan dipandang berkemampuan menjawab pencapaian tujuan (dengan memperhatikan biaya dan manfaatnya) dan tidak hanya sekedar kepatuhan terhadap kebutuhan hirarki atau prosedur. Efektivitas yang harus dicapai bukan hanya berupa output akan tetapi yang lebih penting adalah efektivitas dari sudut pandang output akan tetapi yang lebih penting adalah efektivitas dari sudut pandang outcome. Akuntabilitas manfaat hampir sama dengan akuntabilitas progam.
c. Akuntabilitas Prosedural
Akuntabilitas prosedural merupakan pertanggung jawaban mengenai apakah suatu prosedur penetapan dan pelaksanaan suatu kebijakan telah mempertimbangkan masalah moralitas, etika, kepastian hukum, dan ketaatan pada keputusan politis untuk mendukung pencapaian tujuan akhir yang telah dietapkan. Pengertian akuntabilitas prosedural ini adalah sebagaimana dengan akuntabilitas proses.
Berdasarkan deskripsi akuntabilitas yang demikian itu,
maka akuntabilitas kinerja instansi pemerintah adalah kewajiban untuk memberikan pertanggung jawaban atau menjawab dan
menerangkan kinerja dan tindakan seseorang/badan hukum/pimpinan suatu
organisasi kepada pihak yang memiliki hak atau berkewenangan untuk meminta
keterangan atau pertanggungjawaban. Berdasarkan pada pengertian yang demikian
itu, maka semua Instansi Pemerintah, Badan dan Lembaga Negara di Pusat dan
Daerah sesuai dengan tugas pokok masing-masing harus memahami lingkup
akuntabilitasnya masing-masing, karena akuntabilitas yang diminta meliputi
keberhasilan dan juga kegagalan pelaksanaan misi Instansi yang bersangkutan.
BAB II
ISI
A. Akuntabilitas
Bila di masa lalu masyarakat cenderung menerima apa pun yang
diberikan oleh pendidikan, maka sekarang mereka tidak dengan mudah menerima apa
yang diberikan oleh pendidikan. Masyarakat yang notabene membayar pendidikan
merasa berhak untuk memperoleh pendidikan yang lebih baik bagi dirinya dan
anak-anaknya.
Bagi lembaga-lembaga pendidikan hal ini mulai disadari dan disikapi
dengan melakukan redesain sistem yang mampu menjawab tuntutan masyarakat.
Caranya adalah mengembangkan model manajemen pendidikan yang akuntabel.
Upaya untuk mencapai akuntabilitas institusi memerlukan kurikulum
yang relevan yang memperhitungkan kebutuhan masyarakat, kemampuan manajemen
yang tinggi, komitmen yang kuat untuk mencapai keunggulan, sarana penunjang
yang mamadai, dan perangkat aturan yang jelas dan dilaksanakan secara konsisten
oleh institusi pendidikan yang bersangkutan.
Empat hal penting yang dikemukakan di atas membutuhkan proses dan
waktu yang tidak singkat. Sebab
tidak saja dibutuhkan kemauan tetapi juga kemampuan untuk melaksanakannya.
Dalam teori perubahan, orang dapat berubah, jika ia memiliki kemauan sekaligus
kemampuan.
Akuntabilitas pendidikan juga mensyaratkan
adanya manajemen yang tinggi. Di Indonesia telah lahir Manajemen Berbasis
Sekolah (MBS) yang bertumpu pada sekolah dan masyarakat.
Model manajemen ini menuntut keterlibatan
yang tinggi dari stakeholders sekolah. Susan Mohrman menyatakan, “Untuk mendukung pencapaian MBS telah muncul
manajemen berpartisipasi tinggi yang membutuhkan empat sumber daya penting: 1)
informasi, 2) pengetahuan, 3) keterampilan, 4) penghargaan dan sanksi.” Empat sumber daya ini jika dikelola secara
baik akan meningkatkan efektivitas manajemen sekolah. Dan efektifitas manajemen
sekolah akan ditunjukkan dengan output yang berkualitas.
Akuntabilitas yang tinggi hanya dapat
dicapai dengan pengelolaan sumber daya sekolah secara efektif dan efisien.
Akuntabilitas tidak datang dengan sendiri setelah lembaga-lembaga pendidikan
melaksanakan usaha-usahanya. Ada tiga hal yang
memiliki kaitan, yaitu kompetensi, akreditasi dan akuntabilitas. Menurut Fasli
Jalal dan Dedi Supriadi (2001:88):
Tiga aspek yang dapat memberi jaminan mutu suatu lembaga pendidikan,
yaitu kompetensi, akreditasi, dan akuntabilitas. Lulusan pendidikan yang
dianggap telah memenuhi semua persyaratan dan memiliki kompetensi yang dituntut
berhak mendapat sertifikat. Lembaga pendidikan beserta perangkat-perangkatnya
yang dinilai mampu menjamin produk yang bermutu disebut sebagai lembaga
terakreditasi (accredited). Lembaga pendidikan yang terakreditasi dan dinilai
mampu untuk menghasilkan lulusan bermutu, selalu berusaha menjaga dan menjamin
mutuya sehingga dihargai oleh masyarakat adalah lembaga pendidikan yang
akuntable.
Institusi pendidikan yang akuntabel adalah institusi pendidikan yang
mampu menjaga mutu keluarannya sehingga dapat diterima oleh masyarakat. Jadi,
dalam hal ini akuntabel tidaknya suatu lembaga pendidikan bergantung kepada
mutu outputnya. Di samping itu, akuntabilitas suatu lembaga juga bergantung
kepada kemampuan suatu lembaga pendidikan mempertanggungjawabkan pengelolaan
keuangan kepada publik. Penulis mengelompokkan akuntabiltas yang pertama
sebagai akuntabilitas kinerja, sementara yang kedua sebagai akuntabilitas
keuangan.
Manajemen Berbasis Sekolah yang diterapkan di Indonesia juga
mensyaratkan kemampuan akuntabilitas sekolah kepada publik. Menurut Slamet
(2005:6):
MBS harus dipahami sebagai model pemberian kewenangan yang lebih
besar kepada sekolah, yang meliputi kewenangan mengatur dan mengurus sekolah,
mengambil keputusan, mengelola, memimpin, dan mengontrol sekolah. Agar
penyelenggara sekolah tidak sewenang-wenang dalam menyelenggarakan sekolah,
maka sekolah harus bertanggung jawab terhadap apa yang dikerjakan. Untuk itu
sekolah berkewajiban mempertanggungjawabkan kepada publik tentang apa yang
dikerjakan sebagai konsekuensi dari mandat yang diberikan oleh publik. Itu
berarti akuntabilitas publik menyangkut hak publik untuk memperoleh
pertanggungjawaban penyelenggara sekolah.
Bagaimana sekolah mampu mempertanggungjawabkan kewenangan yang
diberikan kepada publik, tentu menjadi tantangan tanggung jawab sekolah. Fasli
Jalal dan Dedi Supriadi (2001:88) menyatakan di Indonesia banyak instituasi
pendidikan yang lemah dan tidak sedikit institusi pendidikan yang tidak
akuntabel.
B. Memahami Akuntabilitas dalam MBS
Di Indonesia akuntabilitas dalam
penyelenggaraan pendidikan, juga masih menempuh jalan panjang. Ketika terjadi
perubahan mendasar dalam sistem pendidikan, isu akuntabilitas sepertinya
memperoleh nafas baru. Sekolah-sekolah sebagai basis penerapan manajemen
pendidikan dituntut harus mampu mewujudkan akuntabilitas bagi publik.
Kalau begitu apa sebenarnya akuntabilitas
itu? Menurut Slamet (2005:5), “Akuntabilitas adalah kewajiban untuk memberikan
pertanggungjawaban atau untuk menjawab dan menerangkan kinerja dan tindakan
penyelenggara organisasi kepada pihak yang memiliki hak atau kewajiban untuk
meminta keterangan atau pertanggungjawaban.
Pendapat Zamroni mengenai akuntabilitas
dikaitkan dengan partisipasi. Ini berarti akuntabilitas hanya dapat terjadi
jika ada partisipasi dari stakeholders sekolah. Semakin kecil partisipasi
stakeholders dalam penyelenggaraan manajemen sekolah, maka akan semakin rendah
pula akuntabilitas sekolah.
Jadi, kalau disimpulkan akuntabilitas
adalah kemampuan sekolah mempertanggungjawabkan kepada publik segala sesuatu
mengenai kinerja yang diperoleh sebagai hasil partisipasi dari stakeholders.
Rita Headington berpendapat bahwa “Accountability has moral, legal
and financial dimensions and operates at all levels of the education system.”
Ketiga dimensi yang terkandung dalam akuntabilitas, yaitu moral, hukum, dan
keuangan menuntut tanggung jawab dari sekolah untuk mewujudkannya, tidak saja
bagi publik tetapi pertama-tama harus dimulai bagi warga sekolah itu sendiri.
Headington menekankan akuntabilitas dari
guru. Secara moral maupun secara formal (aturan) guru memiliki tanggung jawab
bagi siswa maupun orang tua siswa untuk mewujudkan proses pembelajaran yang
baik. Tidak saja guru tetapi juga badan-badan yang
terkait dengan pendidikan, sebagaimana dikatakan oleh Headington (2000:83),
“The head teacher and governing body have a legal responsibility to ensure the
finances of the school are used effectively to benefit pupils’ education.”
Pendapat Headington memberi tekanan pada akuntabilitas
kinerja pembelajaran. Di Indonesia, juga di Negara-negara yang telah menerapkan
MBS, terjadi kekacauan dalam memahami MBS, bahwa seringkali aspek pembelajaran
dipahami terpisah dengan MBS.
Jadi, kalau Rita Headington memberi tekanan akuntabiltas pada aspek
pembelajaran yang dimotori oleh guru, maka sebenarnya ini adalah bagian hakiki
dalam penerapan MBS yang tidak boleh diabaikan oleh sekolah.
C.
Tujuan Akuntabilitas
Tujuan akuntabilitas adalah agar terciptanya kepercayaan publik
terhadap sekolah. Kepercayaan publik yang tinggi akan sekolah dapat mendorong
partisipasi yang lebih tinggi pula terdapat pengelolaan manajemen sekolah.
Sekolah akan dianggap sebagai agen bahkan sumber perubahan masyarakat. Slamet
(2005:6) menyatakan:
Tujuan utama akuntabilitas
adalah :
a.
untuk mendorong terciptanya
akuntabilitas kinerja sekolah sebagai salah satu syarat untuk terciptanya
sekolah yang baik dan terpercaya. Penyelenggara sekolah harus memahami bahwa
mereka harus mempertanggungjawabkan hasil kerja kepada publik.
b.
Menilai kinerja sekolah dan
kepuasaan publik terhadap pelayanan pendidikan yang diselenggarakan oleh
sekolah, untuk mengikutsertakan publik dalam pengawasan pelayanan pendidikan
dan untuk mempertanggungjawabkan komitmen pelayanan pendidikan kepada publik.
Rumusan tujuan akuntabilitas di atas hendak menegaskan bahwa,
akuntabilitas bukanlah akhir dari sistem penyelenggaran manajemen sekolah,
tetapi merupakan faktor pendorong munculnya kepercayaan dan partisipasi yang
lebih tinggi lagi. Bahkan, boleh dikatakan bahwa akuntabilitas baru sebagai
titik awal menuju keberlangsungan manajemen sekolah yang berkinerja tinggi.
D.
Pelaksanaan Akuntabilitas
dalam MBS
Penerapan prinsip akuntabilitas dalam penyelenggaraan manejemen
sekolah mendapat relevansi ketika pemerintah menerapkan otonomi pendidikan yang
ditandai dengan pemberian kewenangan kepada sekolah untuk melaksanakan
manajemen sesuai dengan kekhasan dan kebolehan sekolah. Dengan pelimpahan
kewenangan tersebut, maka pengelolan manajemen sekolah semakin dekat dengan
masyarakat yang adalah pemberi mandat pendidikan. Oleh karena manajemen sekolah semakin dekat dengan
masyarakat, maka penerapan akuntabilitas dalam pengelolaan merupakan hal yang
tidak dapat ditunda-tunda.
Pelaksanaan prinsip akuntabilitas dalam rangka
MBS tiada lain agar para pengelola sekolah atau pihak-pihak yang diberi
kewenangan mengelola urusan pendidikan itu senantiasa terkontrol dan tidak
memiliki peluang melakukan penyimpangan untuk melakukan korupsi, kolusi, dan
nepotisme. Dengan prinsip ini mereka terus memacu produktifitas profesionalnya
sehingga berperan besar dalam memenuhi berbagai aspek kepentingan masyarakat.
Akuntabilitas menyangkut dua dimensi,
yakni akuntabilitas vertikal dan akuntabilitas horisontal. Akuntabilitas
vertikal menyangkut hubungan antara pengelola sekolah dengan masyarakat.
Sekolah dan orang tua siswa. Antara sekolah dan instansi di atasnya (Dinas
pendidikan). Sedangkan akuntabilitas horisontal menyangkut hubungan antara
sesama warga sekolah. Antar kepala sekolah dengan komite, dan antara kepala
sekolah dengan guru.
Pengelola sekolah harus mampu
mempertanggungjawabkan seluruh komponen pengelolaan MBS kepada masyarakat.
Komponen pertama yang harus melaksanakan akuntabilitas adalah guru. Mengapa,
karena inti dari seluruh pelaksanaan manajemen sekolah adalah proses belajar
mengajar. Dan pihak pertama di mana guru harus bertanggung jawab adalah siswa.
Guru harus dapat melaksanakan ini dalam tugasnya sebagai pengajar.
Akuntabilitas dalam pengajaran dilihat
dari tanggung jawab guru dalam hal membuat persiapan, melaksanakan pengajaran,
dan mengevaluasi siswa. Selain itu dalam hal keteladan, seperti disiplin,
kejujuran, hubungan dengan siswa menjadi penting untuk diperhatikan. Sebagaimana dikatakan oleh Headington (2004:88) bahwa, “Teacher are,
first and foremost, accountable to their pupils. They are responsible for
providing work which is interesting and challenging, maintaining pupils’
involvement and helping them make progress in their learning.
Tanggung jawab guru selain kepada siswa juga kepada orang tua siswa.
Sebagaimana dikatakan oleh Headington, “Teacher are accountable to parents,
both legally and morally, for the educational development of their children.
The most evident mechanism for this through the formal reporting channel and
through the provision of information about pupils’ progress whenever
necessary.”
Akuntabilitas tidak saja menyangkut proses pembelajaran, tetapi juga
menyangkut pengelolaan keuangan, dan kualitas output. Akuntabilitas keuangan
dapat diukur dari semakin kecilnya penyimpangan dalam pengelolaan keuangan
sekolah. Baik sumber-sumber penerimaan, besar kecilnya penerimaan, maupun
peruntukkannya dapat dipertanggungjawabkan oleh pengelola. Pengelola keuangan
yang bertanggung jawab akan mendapat kepercayaan dari warga sekolah dan
masyarakat. Sebaliknya pengelola yang melakukan praktek korupsi tidak akan
dipercaya. Akuntabilitas tidak saja menyangkut sistem tetapi juga menyangkut
moral individu. Jadi, moral individu yang baik dan didukung oleh sistem yang baik
akan menjamin pengelolaan keuangan yang bersih, dan jauh dari praktek korupsi.
Fakta menyangkut praktek korupsi dalam
dunia pendidikan bukan hal baru. Temuan Indonesian Corruption Watch (ICW) awal
tahun 2008 bahwa, korupsi dalam dunia pendidikan telah menjamah, mulai dari
Departemen Pendidikan, Dinas Pendidikan, hingga di sekolah-sekolah. Kenyataan
ini sangat ironis, karena berbanding terbalik dengan apa yang seharusnya
diajarkan lembaga pendidikan kepada anak bangsa, tidak saja dari segi
intelektual tetapi juga moral. Informasi ini merupakan “tamparan” keras bagi
dunia pendidikan. Oleh karena itu dalam rangka penerapan MBS ini, pengelolaan
keuangan sekolah harus jauh dari praktik korupsi, kolusi dan nepotisme.
Akuntabilitas juga semakin memiliki arti, ketika sekolah mampu
mempertanggungjawabkan mutu outputnya terhadap publik. Sekolah yang mampu
mempertanggungjawabkan kualitas outputnya terhadap publik, mencerminkan sekolah
yang memiliki tingkat efektivitas output tinggi. Dan sekolah yang memiliki
tingkat efektivitas outputnya tinggi, akan meningkatkan efisiensi eksternal.
E. Faktor-faktor Penghambat Akuntabilitas
dalam MBS
Codd (1999), seorang pakar kebijakan
pendidikan dalam Marks Olssen, dkk (2004), menyatakan bahwa dalam perspektif
global, akuntabilitas dipengaruhi oleh kecenderungan manusia yang mengutamakan
kebebasan. Kebebasan yang muncul secara baru (neoliberalisme) ikut mempengaruhi
ketahanan moral orang dalam melaksanakan akuntabilitas.
Menurutnya ada dua jenis akuntabilitas sebagaimana digambarkan di bawah
ini:
Bagan Dua Jenis Akuntabilitas
External
Internal
Low-trust
High-trust
Hierarchical (line) control
Delegated professional responsibility
Contractual compliance
Commitment, loyalty, sense of duty, expertise
Formal process of reporting and recording for line management
Accountable to multiple constituencies
Reduced moral agency
Ethic of neutrality
Ethic of structure
Enhanced moral agency
Deliberation
Discretion
External
Internal
Low-trust
High-trust
Hierarchical (line) control
Delegated professional responsibility
Contractual compliance
Commitment, loyalty, sense of duty, expertise
Formal process of reporting and recording for line management
Accountable to multiple constituencies
Reduced moral agency
Ethic of neutrality
Ethic of structure
Enhanced moral agency
Deliberation
Discretion
Terdapat dua tipe akuntabilitas,
masing-masing akuntabilitas eksternal dan akuntabilitas internal. Keduanya
memiliki ciri yang berbeda, ini disebabkan oleh karena titik tolak kedunya
berbeda. Akuntabilitas eksternal didasarkan manajemen hirarkis, sedangkan
akuntabilitas internal didasarkan pada tanggung jawab profesional, dengan
melekat sebuah konsep agen moral. Oleh karena pendasaran kedua jenis
akuntabilitas ini berbeda, maka hal-hal yang diperlihatkanpun berbeda.
Misalnya, akuntabilitas eksternal memiliki kepercayaan yang rendah, sedangkan
pada akuntabilitas internal justru sebaliknya memiliki kepercayaan yang tinggi.
Selanjutnya dari segi tanggung jawab, pada akuntabilitas eksternal terdapat
kontrol yang hirarkis, sedangkan pada akuntabilitas internal tanggung jawab
professional didelegasikan.
Dari segi pelaksanaan tugas, pada
akuntabilitas eksternal terikat pada kontrak, sedangkan akuntabilitas internal
menekankan pada komitmen, loyalitas, rasa memiliki, dan kecakapan.
Akuntabilitas eksternal memperlihatkan proses formal dalam pelaporan dan
perekaman untuk manajamen hirarkhis, sedangkan dalam akuntabilitas internal
akuntabel banyak konstituen. Dalam akuntabilitas eksternal kurang mengutamakan
peran moral, ketimbang etika kebiasan, dan etika struktur. Sedangkan jenis
akuntabilitas internal peran moral tinggi sehingga pertimbangannya matang dan
memiliki kebebasan untuk bertindak.
Kedua jenis akuntabilitas di atas memiliki
pendasaran yang sangat berbeda. Kalau akuntabilitas eksternal pengaruh faktor
luar sangat besar, di sisi lain faktor dalam sangat lemah. Sebaliknya pada
akuntabilitas internal faktor dari dalam diri lebih kuat ketimbang faktor luar.
Kekuatannya terletak pada motivasi dan komitmen individu untuk melaksanakan
akuntabilitas organisasi.
F. Akuntabilitas dan Faktor nilai-budaya
Sekolah sebagai tempat penyelenggaran
manajemen yang akuntabel merupakan suatu pranata sosial. Dikatakan sebagai
pranata sosial karena di tempat tersebut teradapat orang-orang dari berbagai
latar belakang sosial yang membentuk suatu kesatuan dengan nilai-nilai dan
budaya tertentu. Nilai-nilai dan budaya tersebut potensial untuk mendukung
penyelenggaraan manajemen sekolah yang akuntabel, tetapi juga sebaliknya bisa
menjadi penghambat. Dalam sebuah ilustrasi perusahaan,
Stephen Robins (2001:14) menyatakan:
Workforce diversity has important implication for management
practice. Manager will need to shift their philosophy from treating every one
alike to recognizing differences and responding to those differences in ways
that will ensure employe retention and greater productivity while, at the same
time not discriminating.
Artinya, keberagaman tenaga kerja
mempunyai implikasi penting pada praktik manajemen. Para manejer harus mengubah
filosofi mereka dari memperlakukan setiap orang dengan cara yang sama menjadi
mengenali perbedaan dan menyikapi mereka yang berbeda dengan cara-cara yang
menjamin kesetiaan karyawan dan peningkatan produktifitas sementara, pada saat
yang sama, tidak melakukan diskriminasi.
Apa yang dikemukakan Robins berangkat dari
asumsi akan perbedaan nilai dan budaya dari setiap anggota organisasi. Ada nilai-nilai
yang dapat mendukung nilai-nilai organisasi, tetapi ada juga yang sebaliknya.
Dalam konteks ini, dibutuhkan peran pemimpin untuk dapat mengelolanya.
Akuntabel merupakan nilai yang hendak
ditegakan organisasi, apakah anggota organisasi dapat mendukungnya? Menjadi
tantangan, oleh karena latar belakang tadi.
Jadi, faktor yang mempengaruhi
akuntabilitas terletak pada dua hal, yakni faktor sistem dan faktor orang.
Sistem menyangkut aturan-aturan, tradisi organisasi. Sedangkan faktor orang
menyangkut motivasi, persepsi dan nilai-nilai yang dianutnya mempengaruhi
kemampuannya akuntabilitas. Kalau ditelisik lebih jauh faktor orang sendiri
sebenarnya tidak berdiri sendiri, melainkan merupakan produk dari masyarakat
dengan budaya tertentu.
G. Upaya-upaya Peningkatan Akuntabilitas
dalam MBS
Bagaimanapun juga pengelolaan MBS
mensyaratkan akuntabilitas yang tinggi, oleh karena itu perlu ada upaya nyata
sekolah untuk mewujudkannya.
Menurut Slamet (2005:6) ada delapan hal yang
harus dikerjakan oleh sekolah untuk peningkatan akuntabilitas:
1. Sekolah harus menyusun aturan main tentang
sistem akuntabilitas termasuk mekanisme pertanggungjawaban.
2. Sekolah perlu menyusun pedoman tingkah
laku dan sistem pemantauan kinerja penyelenggara sekolah dan sistem pengawasan
dengan sanksi yang jelas dan tegas.
3. Sekolah menyusun rencana pengembangan
sekolah dan menyampaikan kepada publik/stakeholders di awal setiap tahun
anggaran.
4. Menyusun indikator yang jelas tentang
pengukuran kinerja sekolah dan disampaikan kepada stakeholders.
5. Melakukan pengukuran pencapaian kinerja
pelayanan pendidikan dan menyampaikan hasilnya kepada publik/stakeholders
diakhir tahun.
6. Memberikan tanggapan terhadap pertanyaan
dan pengaduan publik.
7. Menyediakan informasi kegiatan sekolah
kepada publik yang akan memperoleh pelayanan pendidikan.
8. Memperbaharui rencana kinerja yang baru
sebagai kesepakatan komitmen baru.
Kedelapan upaya di atas, semuanya bertumpu
pada kemampuan dan kemauan sekolah untuk mewujudkannya. Alih-alih sekolah
mengetahui sumber dayanya, sehingga dapat digerakan untuk mewujudkan dan
meningkatkan akuntabilitas. Sekolah dapat melibatkan stakeholders untuk
menyusun dan memperbaharui sistem yang dianggap tidak dapat menjamin
terwujudnya akuntabilitas di sekolah. Komite sekolah, orang tua siswa, kelompok
profesi, dan pemerintah dapat dilibatkan untuk melaksanakannya. Dengan begitu
stakeholders sejak awal tahu dan merasa memiliki akan sistem yang ada.
Untuk mengukur berhasil tidaknya akuntabilitas dalam manajemen berbasis
sekolah, dapat dilihat pada beberapa hal, sebagaimana dinyatakan oleh Slamet
(2005:7):
Beberapa indikator keberhasilan akuntabilitas adalah:
1.Meningkatnya kepercayaan dan kepuasan publik terhadap sekolah.
2.Tumbuhnya kesadaran publik tentang hak untuk menilai terhadap
penyelenggaraanpendidikan di sekolah, dan
3.Meningkatnya kesesuaian kegiatan-kegiatan sekolah dengan nilai dan norma
yang berkembang di masyarakat.
Ketiga indikator di atas dapat dipakai
oleh sekolah untuk mengukur apakah akuntabilitas manajemen sekolah telah
mencapai hasil sebagaiamana yang dikehendaki. Tidak saja publik merasa puas,
tetapi sekolah akan mengalami peningkatan dalam banyak hal.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan :
Akuntabilitas berasal dari bahasa Inggris,
yaitu accountability yang artinya keadaan untuk dipertanggungjawabkan, keadaan
dapat dimintai pertanggungan jawaban.
Tujuan utama
akuntabilitas adalah :
c.
untuk mendorong terciptanya
akuntabilitas kinerja sekolah sebagai salah satu syarat untuk terciptanya
sekolah yang baik dan terpercaya. Penyelenggara sekolah harus memahami bahwa
mereka harus mempertanggungjawabkan hasil kerja kepada publik.
d.
Menilai kinerja sekolah dan
kepuasaan publik terhadap pelayanan pendidikan yang diselenggarakan oleh
sekolah, untuk mengikutsertakan publik dalam pengawasan pelayanan pendidikan
dan untuk mempertanggungjawabkan komitmen pelayanan pendidikan kepada publik.
Akuntabilitas menyangkut dua dimensi, yakni
akuntabilitas vertikal dan akuntabilitas horisontal.
Faktor penghambat akuntabilitas dalam MBS terdapat
dua tipe akuntabilitas, masing-masing akuntabilitas eksternal dan akuntabilitas
internal.
Dari segi pelaksanaan tugas, pada akuntabilitas
eksternal terikat pada kontrak, sedangkan akuntabilitas internal menekankan
pada komitmen, loyalitas, rasa memiliki, dan kecakapan.
Faktor yang mempengaruhi akuntabilitas terletak
pada dua hal, yakni faktor sistem dan faktor orang.
Ada delapan hal yang harus dikerjakan oleh sekolah untuk peningkatan
akuntabilitas:
1. Sekolah harus menyusun aturan main tentang
sistem akuntabilitas termasuk mekanisme pertanggungjawaban.
2. Sekolah perlu menyusun pedoman tingkah
laku dan sistem pemantauan kinerja penyelenggara sekolah dan sistem pengawasan
dengan sanksi yang jelas dan tegas.
3. Sekolah menyusun rencana pengembangan
sekolah dan menyampaikan kepada publik/stakeholders di awal setiap tahun
anggaran.
4. Menyusun indikator yang jelas tentang
pengukuran kinerja sekolah dan disampaikan kepada stakeholders.
5. Melakukan pengukuran pencapaian kinerja
pelayanan pendidikan dan menyampaikan hasilnya kepada publik/stakeholders
diakhir tahun.
6. Memberikan tanggapan terhadap pertanyaan
dan pengaduan publik.
7. Menyediakan informasi kegiatan sekolah
kepada publik yang akan memperoleh pelayanan pendidikan.
8. Memperbaharui rencana kinerja yang baru
sebagai kesepakatan komitmen baru.
Beberapa indikator keberhasilan akuntabilitas adalah:
1.Meningkatnya kepercayaan dan kepuasan publik terhadap sekolah.
2.Tumbuhnya kesadaran publik tentang hak untuk menilai terhadap
penyelenggaraanpendidikan di sekolah, dan
3.Meningkatnya kesesuaian kegiatan-kegiatan sekolah dengan nilai dan norma
yang berkembang di masyarakat.
No comments:
Post a Comment